Masyarakat Angkola Sipirok merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan
dari Kesatuan Bangsa Indonesia. Di awal Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pun mereka ikut serta dalam perjuangan fisik melawan penjajah
Belanda, yang datang kembali bersama sekutu dari arah Padang (Sumatera
Barat).
Sebagian besar pemuda di Daerah ini tidak sempat menikmati
kemerdekaan, mereka gugur sebagai pahlawan bangsa, jasadnya kembali ke
tanah haribaan ibu pertiwi. Di Desa Huraba Kecamatan Batang Angkola,
tentara Belanda yang maju mendesak dari arah Padang (Sumatera Barat)
mendapat perlawanan gigih dan tidak kenal menyerah dari para pejuang
Angkola Sipirok dan sekitarnya didukung oleh tentara Republik Indonesia.
Pada beberapa kali pertempuran besar dan dahsyat itu banyak para
gerilyawan dan tentara Republik yang gugur sebagai kesuma bangsa, yang
sampai saat ini dikenang indah berupa bangunan "Tugu Benteng Huraba"
yang tinggi menjulang berbentuk benteng pertahanan yang kokoh yang
dibangun bersama, terutama oleh sesepuh Brimob.
Kepada mereka semua,
terutama 151 orang yang gugur di Front Angkola Sipirok pada saat
menghadang pasukan Belanda yang menyerang lewat jalur Padang itu patut
kita salut dan bangga, salah satu caranya tentu menata makam mereka di
Makam Pahlawan Simagomago, sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai pahlawannya. Pasukan istimewa "Selikur" di bawah pimpinan
Mayor Bejo dan pasukan gerilya di bawah pimpinan Sahala Muda Pakpahan.
Pada hari itu mereka mendapat berita bahwa sepasukan tentara Belanda
akan berangkat dari Padang Sidempuan ke Sipirok. Pasukan gabungan tadi
mengambil tempat untuk menghadang di jembatan Aek Horsik yang terletak
di antara kampung Mandurana dan Situmba dekat
Taman Pahlawan Sipirok
sekarang. Dari atas sebuah tebing para gerilyawan tersebut menghujani
dengan granat tangan dan tembakan-tembakan senapan. Karena tentara
Belanda yang lewat itu tidak menyangka, bahwa mereka akan dihadang di
tempat itu, maka akhirnya mereka banyak menjadi korban. Akibat
penghadangan itu tentara Belanda itu tidak lagi meneruskan perjalanannya
ke Sipirok, akan tetapi mereka kembali ke Padang Sidempuan membawa para
korban itu. Setelah mereka berangkat, rakyat kampung Situmba itu
menyaksikan bahwa banyak sekali darah yang bertumpah di tempat
penghadangan itu. Menurut keterangan dari rakyat setempat mengatakan
bahwa salah satu dari kendaraan-kendaraan yang ditumpangi tentara
Belanda tersebut ada yang berbendera kuning.
Sejak hari itu dan beberapa
waktu kemudian, markas-markas tentara Belanda di Huraba, Padang
Sidempuan, Sipirok dan Arse mengibarkan bendera setengah tiang atas
kematian Jenderal Spoor dan anak buahnya. Beberapa kendaraan yang mereka
tumpangi itu menderita kerusakan, berlobang-lobang dan sebuah mobil
jeep yang menjadi sasaran granat terbakar. Sebagai pembalasan pada sore
hari itu juga, tentara Belanda datang lagi ke tempat itu dan menembak
mati 6 orang anggota pertahanan Sipirok yang tidak bersenjata, dengan
menyandarkan para korban pada sebuah tebing di tepi jalan besar dekat
kampung Sabasiala. Pada 20 Februari 1949 di Aek Latong, yang jaraknya + 7
kilometer dari Sipirok, patroli Belanda juga dihadang oleh para
gerilya. Dari hasil penghadangan itu, rakyat setempat menyaksikan,
pertempuan itu.
Mereka melihat sekurang-kurangnya 6 orang tentara
Belanda yang diusung dalam keadaan berlumuran darah. Setelah
kemerdekaan, makam para pejuang Front Sipirok dibongkar dengan maksud
untuk dibawa ke Kota Sibolga, sebagai penghargaan untuk mereka akan
dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Keresidenan Tapanuli di Sibolga,
tetapi dengan permintaan keluarga, tokoh masyarakat dan pengetua adat
sebagian masih tinggal di Taman Makam Pahlawan Simago-mago Kota Sipirok
sampai sekarang.
Posting Komentar