Selamat datang di Kiprah Nusantara News

Pernyatan wiranto tentang Prabowo

Kamis, 19 Juni 20140 komentar

 
Mantan Menhankam/Pangab Jenderal (purn) Wiranto akhirnya menjawab ke publik mengenai seputar keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dalam hal pemberhentian mantan Pangkostrad Letjen (purn) Prabowo Subianto pada 1998.

Dalam keterangan yang disampaikan di pada Kamis (19/6/2014), Wiranto menegaskan penjelasan itu adalah dalam posisi sebagai mantan Menhamkam/Pangab, bukan sebagai Ketua Umum DPP Partai Hanura yang mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Berikut rangkuman pertanyaan  beserta jawaban yang disampaikan Wiranto.

Bagaimana  tanggapan  tentang  masalah  rekomendasi  DKP terhadap kasus penculikan pada 1998 yang beredar di masyarakat dengan melibatkan salah satu kandidat Presiden? Apakah setuju hal itu merupakan pembocoran rahasia TNI?
Saya tidak setuju. Pertama, karena kasus tersebut yang menjadi korban adalah masyarakat sipil, pihak TNI tidak lagi bisa mengklim itu rahasia internal TNI yang tidak bisa dipublikasikan.

Kedua,  pada 1998 tatkala kasus tersebut mencuat, saya selaku Menhankam/Pangab secara bertahap telah menjelaskan kepada masyarakat atas keterlibatan satuan TNI-AD dalam aksi penculikan disertai permohonan maaf atas kejadian tersebut, serta menjamin akan melakukan  pengusutan dan penindakan terhadap oknum yang terlibat.

Ketiga, dalam pelaksanaannya, semua kegiatan mulai dari pembentukan DKP dan Mahkamah Militer, kinerja DKP beserta saran DKP kepada Panglima, dan kemudian keputusan saya untuk setuju dan meneruskan kepada Presiden, sampai dengan keputusan pemberhentian dari dinas keprajuritan terhadap Letnan Jenderal Prabowo Subianto, sudah secara terus menerus dipublikasikan kepada  umum lewat media dan bukan sesuatu yang dirahasiakan.

Dengan demikian kasus tersebut sudah terbuka , sudah menjadi milik publik. Kalau sekarang dianggap sebagai pembocoran rahasia negara, pendapat tersebut sungguh aneh, mengada-ada, dan tidak sesuai kenyataan.

Ada tuduhan beberapa mantan jenderal merupakan pihak yang membocorkan keputusan DKP yang katanya rahasia?
Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, kasus itu sebenarnya bukan rahasia lagi karena pada 1998 secara substantif telah dipublikasikan kepada umum. Dengan demikian, pertanyaan ini sudah lagi tidak relevan.

Seperti kita ketahui, semua produk administratif institusi ABRI diarsipkan di Sekretariat  Umum  Mabes ABRI. Selaku  pribadi  dan  Panglima, saya tidak pernah menyimpan dokumen surat menyurat yang jumlahnya bisa ribuan. Tidak ada staf khusus yang mengopi serta menyimpan surat-surat Panglima.

Menurut saya, yang penting bukan tuduh-menuduh siapa yang  membocorkan, namun justru harus diarahkan untuk menguji materi dari dokumen tersebut.

Perlu diklarifikasi apakah dokumen itu otentik. Perlu diuji keaslian tanda tangan para pejabat DKP yang saat ini masih sebagian besar hidup, dan hanya satu yang telah wafat yaitu Letjen Arie Kumaat.

Dapat ditanyakan kembali apakah kandungan materi dalam surat keputusan DKP tersebut sesuai seperti yang telah diputuskan DKP waktu itu. 

Hasil klarifikasi tersebut, menurut hemat saya, sangat penting karena menyangkut  kredibilitas  salah satu kandidat Presiden yang bakal memikul kepercayaan rakyat dalam 5 tahun mendatang serta memenuhi prinsip akuntabilitas pimpinan nasional.

Ada tuduhan pembocoran rekomendasi DKP disebabkan rasa dengki, dendam dan iri hati karena kalah bersaing?
Kalah bersaing dalam organisasi militer sudah biasa terjadi dan tidak ada masalah apalagi sampai dendam dan sakit hati. Misalnya, pada saat saya diangkat menjadi Panglima ABRI, saat itu mendahului sampai 7 angkatan. Saya angkatan 1968 menggantikan angkatan 1961. Apa ada  dendam, benci, dan iri hati pada  saya? Rasanya tidak.

Contoh lain, Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah angkatan 1974, saya angkatan 1968. Ternyata dalam persaingan, beliaulah yang terpilih menjadi Presiden. Apakah saya dendam dan iri hati? Tidak. Saya yakin yang dilakukan para purnawirawan jenderal itu didasari rasa tanggung jawab yang besar bagi masa depan bangsa dan negara sehingga perlu menyampaikan kebenaran yang belum diketahui masyarakat luas.

Mereka punya hak untuk menyampaikan kebenaran, memaparkan fakta sejarah apa adanya tanpa polesan. Sebagai purnawirawan, mereka masih memiliki jiwa Sapta Marga antara lain butir ketiga yang berbunyi, 'Kami ksatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan."

Kalau kemudian yang disampaikan itu ternyata sesuatu yang tidak benar, tidak ada faktanya, dibawa saja ke ranah hukum dan bukan penghujatan lewat media.

Apakah Prabowo Subianto mengundurkan diri dari dinas militer dengan hormat, diberhentikan dengan hormat, atau dipecat tidak dengan hormat?
Saya tak ingin terjebak pada untuk membahas istilah-istilah seperti di atas karena perbedaan istilah tersebut sarat dengan kepentingan politik yang  beragam.

Secara normatif, seorang  prajurit  diberhentikan dari dinas keprajuritan pasti ada sebabnya, ada  alasannya. Dari  sebab  ituIah  muncul pemahaman berhenti dengan hormat apabila yang bersangkutan habis masa dinasnya, meninggal dunia, sakit parah sehingga tak dapat melaksanakan tugas, cacat akibat operasi tempur atau kecelakaan, atau permintaan sendiri.

Sedangkan diberhentikan tidak dengan hormat karena perbuatannya yang melanggar Sapta Marga dan Sumpah Prajurit atau melangar hukum, sehingga tidak pantas lagi sebagai prajurit TNI yang mengedepankan serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.

Dalam kasus tersebut, pemberhentian pak Prabowo sebagai Pangkostrad disebabkan adanya  keterlibatan kasus penculikan pada saat menjabat Danjen Kopassus. Perbuatan tersebut telah dianggap melanggar Sapta Marga, Sumpah Prajurit, etika keprajuritan, serta beberapa pasal dalam KUHP.

Dengan adanya fakta tersebut istilah deberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat sudah tak perlu lagi untuk diperdebatkan,  sejatinya  masyarakat sudah  dapat melakukan penilaian.

Apa pertimbangan Panglima TNI waktu itu membentuk DKP untuk kasus penculikan?
Ada prosedur yang berlaku dalam tubuh TNI bahwa untuk perwira menengah atau tinggi apabila terlibat satu kasus yang cukup berat, tidak serta merta Panglima  membuat  keputusan, yang sangat boleh jadi, akan dipengaruhi  oleh kepentingan pribadi.

Seperti halnya pada 1952, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX membentuk Dewan Kehormatan bagi kasus Kolonel Bambang Supeno.

Dewan Kehormatan  dibentuk  lagi   untuk  menyelesaikan  pergolakan   PRRI/Permesta, selanjutnya pada kasus penembakan rakyat sipil di kuburan Santa Cruz, Timor Timur (kini Republik Demokratik Timor Leste), KSAD Edi Sudrajat membentuk Dewan  Kehormatan  untuk  memeriksa Pangdam Udayana atas  kemungkinan keteriibatannya. 

Pada kasus penculikan aktivis 1998, saya sebagai Panglima ABRI membentuk Dewan Kehormatan Perwira untuk memastikan seberapa jauh keterlibatan Pangkostrad dalam kasus tersebut.

Pada kenyataannya, DKP melalui sidang yang jujur teiah memastikan keterlibatan Pangkostrad yang saat kasus penculikan tersebut  beriangsung masih  menjabat sebagai  Danjen  Kopassus.

Selanjutnya DKP secara bulat merekomendasikan pemberhentian Letjen Prabowo Subianto dari dinas keprajuritan, sedangkan Tim Mawar sebagai pelaku operasional lapangan diianjutkan pada proses Pengadilan Mahkamah Militer.

Dalam debat capres, Prabowo Subianto menyatakan tindakan yang dia lakukan pada 1998  merupakan bagian dari tugas membela  negara dan meminta selebihnya ditanyakan kepada atasannya?
Pada saat aksi penculikan dilakukan medio Desember 1997 sampai Februari 1998, Panglima ABRI adalah Jenderal (almarhum) Feisal Tanjung, sedangkan saat kasus tersebut terungkap sekitar bulan Maret 1998, saya telah menggantikan posisi beliau.

Perlu diketahui, kebijakan Panglima saat itu untuk menghadapi para aktivis dan demonstran  mengedepankan cara-cara  persuasif, dialogis, dan komunikatif, serta menghindari tindakan yang bersifat kekerasan atau represif.

Maka aksi penculikan tersebut jelas tidak sesuai dengan kebijakan pimpinan. Saya tidak tahu yang dimaksud atasan oleh yang bersangkutan itu siapa, yang pasti bukan saya ataupun Jenderal Feisal Tanjung yang benar-benar tidak pernah memberi perintah atau merestui langkah-langkah kekerasan atau penculikan pada saat menghadapi masyarakat.

Seingat saya, pada saat menanyakan Iangsung kepada Letjen Prabowo tentang siapa yang memberi perintah, yang bersangkutan mengaku yang dilakukan bukan perintah Panglima, namun merupakan  inisiatifnya sendiri dari hasil anaiisa keadaan saat itu.

Selaku mantan Pangab/Menhankam, Jenderal (purn) Wiranto dianggap terlibat dan ikut bertanggung jawab terhadap kasus Trisakti, kerusuhan Mei, dan penculikan 1998?
Saya  ingin menjernihkan permasalahan tersebut.  Dalam satu kasus seperti penembakan, kerusuhan, dan penculikan memang ada pihak-pihak yang terlibat dan bertanggung jawab.

Satu pihak berperan sebagai yang mendalangi penembakan, kerusuhan atau penculikan, sedangkan pihak lainnya adalah yang tidak membiarkan aksi itu dengan  mencegah, mengusut dan menghukum  pelakunya.

Sebagai Panglima ABRI saat itu, secara otomatis saya terlibat, bukan sebagai dalang, namun sebagai pihak yang tidak melakukan pembiaran. Kalau  saya  mendalangi penembakan, kerusuhan, dan penculikan, pasti negeri ini sudah hancur-hancuran, tingkat kerusakan tak lagi bisa kita bayangkan, kerusuhan pasti akan berlarut-larut seperti di Thailand, Mesir, atau Syria.

Kalau penembakan dilakukan atas perintah Panglima, korbannya bisa mencapai ratusan. Pada kenyataannya, penembakan di Trisakti telah saya usut dan menghukum para pelakunya. Kerusuhan dalam skala nasional dapat saya netralisir hanya dalam waktu dua hari. Pada 13  Mei 1998, setelah  acara  penguburan  korban penembakan, kerusuhan  dimulai.

Pada 14  Mei 1998 , kerusuhan memuncak dan pada 15 Mei 1998 pagi keadaan sudah dapat dikuasai oleh aparat keamanan, setelah saya mendatangkan pasukan Marinir dan Kostrad dari Jatim ke Jakarta. 

Untuk kasus penculikan, sudah jelas yang saya lakukan adalah mencegah dengan kebijakan dengan persuasif, dialogis, dan komunikatif. Selanjutnya, setelah terjadi penembakan, melakukan pengusutan dan menghukum para pelaku penculikan.

Apa yang saya lakukan di atas adalah bentuk tanggung jawab saya selaku Panglima. Bahkan peluang yang sangat terbuka untuk kudeta pada saat negeri ini dalam keadaan kritispun tidak saya lakukan karena tanggung jawab saya sebagai bhayangkari negara yang harus tetap menegakkan demokrasi dengan segala risikonya.

Tidak adil dan tidak pada tempatnya kalau Panglima dibebani tanggung jawab sebagai dalang penembakan, kerusuhan, dan penculikan.

Ada pula pemberitaan yang menyatakan kerusuhan Mei 1998 adalah bagian dari persaingan antara Prabowo dan Wiranto?
Berkali-kali saya katakan persaingan dalam kehidupan militer,  biasanya dua  atau  lebih  personel  militer dalam  satu  level  kepangkatan  tertentu, untuk berprestasi atau memperebutkan jabatan satu tingkat di atasnya.

Pada saat itu, pada 1990-an, ditinjau dari angkatan, saya angkatan 1968, Prabowo angkatan 1974, beda 5 angkatan (angkatan 1969  tidak  ada).

Dari sisi kepangkatan, saya  bintang 4 (jenderal), Prabowo bintang dua (Mayjen). Jabatan saya merupakan jabatan puncak dalam tubuh ABRI, sedangkan dari pendekatan jabatan, Prabowo berada 2 level di bawah saya. Lalu apa yang harus dipersaingkan? Di mana letak persaingan itu?

Maka saya selalu menyatakan tidak ada persaingan pada saat itu yang dikaitkan dengan kerusuhan Mei 1998. Kalaupun ada pendapat lainnya, silakan saja, negeri ini bebas untuk menyatakan pendapat, asalkan masih dalam koridor hukum yang berlaku.

Beberapa kali Prabowo menyatakan penyesalan, pada saat krisis nasional 1998, sebagai Pangkostrad yang memiliki puluhan batalyon tidak melakukan kudeta. Pada saat yang sama Panglima ABRI merangkap  Menhankam  serta  mendapat  mandat  dari  Presiden  sebagai Panglima Komando Keamanan dan Keselamatan Nasional (semacam Super Semar tahun 1965) juga tidak mengambil kesempatan untuk mengambil alih negeri ini. Apa sebenarnya yang terjadi?
Perbedaannya sangat jelas, kalau menyesal tidak melakukan sesuatu, berarti ada niatan untuk melakukannya. Sedangkan tidak menyesal karena memang tidak ada  niatan  untuk melakukannya.

Banyak kalangan  yang  tidak  tahu, sebenarnya tugas Pangkostrad hanyalah membina dalam arti mengorganisasi, melatih, dan mengembangkan satuan tempur. Untuk penggunaannya, hanya dapat  dilakukan oleh Panglima  ABRI. Maka  untuk mengerahkan satuan Kostrad tanpa restu Panglima ABRI, apalagi untuk kudeta, jelas hal yang mustahil.

Posisi  saya  selaku  Menhankam/Pangab merangkap Panglima  Komando Keamanan dan  Keselamatan Nasional justru sangat kuat dan dengan mudah mengambil alih pemerintahan seperti yang sering terjadi di Thailand.

Namun hal itu tidak saya lakukan karena beberapa pertimbangan. Pertama, saya akan berkuasa melalui secarik kertas dari mantan Presiden yang baru dijatuhkan oleh kelompok reformis,  saya  akan memperhadapkan ABRI dengan rakyat,  korban akan berjatuhan dalam jumlah besar. 

Kedua, pada saat itu apapun alasannya, rezim militer yang berkuasa tidak akan mendapat simpati dari dunia internasional dan sangat mungkin mendapatkan embargo ekonomi saat ekonomi nasional terpuruk, kita akan kesulitan melakukan recovery ekonomi nasional yang sangat dibutuhkan saat itu.

Ketiga,  sekali kita  lakukan pengambilalihan secara inkonstitusional (kudeta), seterusnya akan berulang, seperti yang saat ini sedang terjadi di beberapa kawasan Asia dan Afrika. Indonesia pasti akan tidak akan stabil dalam waktu yang lama, rakyat akan sengsara.

Mengapa  saya  tidak  pernah  menyesali, karena  itulah  yang  seharusnya dilakukan oleh prajurit yang tidak mengambil kesempatan tatkala negara dalam keadaan limbung.  Keputusan saya untuk tidak mengambil alih merupakan ketulusan TNI untuk tetap mengawal tegaknya demokrasi di Indonesia.

Yang saya sesali saat ini adalah Iambannya reformasi demokrasi di Indonesia yang telah belasan tahun belum juga membuahkan hasil yang diharapkan rakyat.

Sebagai sesepuh, bagaimana melihat terbelahnya  para purnawirawan TNI dan Polri akibat perbedaan dukungan terhadap calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014?
Saya rasa tidak terbelah. Yang ada adalah perbedaan pendapat dan itu tidak perlu dirisaukan karena para purnawirawan TNI setelah mengakhiri masa dinas di lingkungan TNI/Polri mendapatkan kembali hak politik untuk bebas dan tidak terikat kepada garis komando dan hak itu harus dihormati oleh siapapun.

Saya yakin para purnawirawan masih memiliki kearifan untuk memainkan peran politik pada bingkai kebersamaan kita sebagai  bangsa.

Saya justru mensyukuri kehadiran para purnawiran di wilayah politik praktis akan mengambil  bagian dari pelaksanaan  pemilu yang  Iebih jujur dan bermartabat, termasuk ikut menjaga netralitas TNI yang sudah saya mulai sejak Pemilu 1999 secara tulus dan sungguh-sungguh  tatkala saya masih menjabat sebagai Menhankam/Pangab.
 
(Hnr)
Share this article :

Posting Komentar